TUGAS Pra-UAS PENDIDIKAN PANCASILA

 

Bukti-bukti nilai-nilai Pancasila yang dibudidayakan oleh nenek moyang bangsa Indonesia.

 Pancasila merupakan dasar negara Indonesia, yang telah dirumuskan oleh para pejuang kemerdekaan. Tak hanya sekedar dasar negara, namun Pancasila ini juga merupakan hasil dari nilai-nilai nenek moyang bangsa Indonesia (Nusantara) yang telah ada sejak dulu bahkan sejak zaman pra-sejarah. Berikut ini adalah nilai-nilai serta bukti dari nilai tersebut

1.       Era pra-sejarah

600.000 tahun yang lalu, Indonesia hanya dihuni oleh manusia, memasuki seperempat zaman, dan seperempat zaman merupakan zaman yang penting, karena pada masa inilah awal peradaban manusia ditemukan. Ada tiga zaman di Indonesia, yaitu Zaman Paleolitikum (Paleolitikum), Zaman Batu Besar (Zaman Megalitikum), dan Zaman Batu Muda (Zaman Neolitikum). Keberadaan ketiga zaman tersebut didasarkan pada ditemukannya fosil kera tegak, Jawa Kuno, Jawa Kuno, Soro, Wajak, dan Moyokte. Pada masa ini manusia hidup bersama dan memenuhi kebutuhannya, yang menunjukkan bahwa nilai-nilai panchasila sebenarnya sudah ada sejak zaman prasejarah. Nilai-nilai Pancasila tersebut antara lain:

1.       Nilai Ketuhanan Nilai ini dapat dilihat pada kerangka mayat manusia purba Wajakensis dan Pithecanthropus Homo erectus pada masa Paleolitik yang menunjukkan adanya makam pada masa itu. Hal lain yang menunjukkan bahwa manusia pada saat itu meyakini sesuatu yang religius adalah adanya alat-alat yang dibuat untuk kegiatan keagamaan. Bahkan pada zaman prasejarah, terdapat animisme dan vitalisme, yang merupakan manifestasi dari perilaku beragama berdasarkan keyakinan agama. Alat yang digunakan untuk kegiatan keagamaan antara lain:

  • Menhir, memiliki bentuk seperti tiang atau tugu yang di gunakan sebagai tempat memuja arwah nenek moyang, umumnya menhir di tempatkan di tempat yang tinggi yang di percayai sebagai tempat roh nenek moyang.
  • Dolmen, merupakan sebuah meja batu yang digunakan sebagai tempat untuk meletakkan sesaji. Diketahui bahwa terkadang pada bagian bawah dolmen di jadikan sebagai tempat untuk menyimpan mayat, maka dari itu kaki meja batu tersebut di perbanyak sehingga menutupi mayat. Adanya hal tersebut menunjukkan bahwa manusia pada zaman prasejarah telah mempercayai adanya hubungan yang selaras dan harmonis antara makhluk yang telah mati dengan makhluk yang masih hidup.
  • Sarchopagus, merupakan sebuah peti yang terbuat dari batu di mana di gunakan sebagai tempat untuk menyimpan mayat. Sarchopagus memiliki bentuk seperti lesung atau palung dengan tutup pada bagian atasnya.
  • Punden Berundak, merupakan bangunan yang berbentuk seperti teras yang bertingkat dan mengarah kesatu titik mengerucut. Umumnya bangunan ini terletak di tempat yang tinggi, hal tersebut dikarenakan bangunan ini digunakan sebagai tempat pemujaan di mana keyakinan manusia zaman tersebut adalah semakin tinggi tempat tersebut maka semakin dekat pula dengan para leluhur.
  • Arca, merupakan patung dari batu besar yang dibuat berbentuk seperti manusia dan hewan yang merupakan perlambangan nenek moyang, arca memiliki fungsi sebagai pemujaan.

2.       Nilai kemanusiaan, nilai ini tercermin pada perilaku manusia pada zaman itu di mana saling memberi penghargaan yang tinggi terhadap manusia lain meskipun manusia tersebut telah meninggal. Manusia pada zaman prasejarah juga sudah mengenal barter dan umumnya kelompok manusia pedalaman melakukan barter sumber daya yang dimilikinya dengan kelompok yang menetap di area pantai, dengan kata lain mereka tidak hanya hidup terbatas dengan wilayah atau pun kelompoknya saja.

3.       Nilai kesatuan, manusia pada zaman prasejarah telah menggunakan bahasa Austronesia, di mana bahasa ini merupakan suatu keluarga bahasa tua yang di gunakan pada zaman dahulu. Rumpun bahasa ini tersebar di pulau – pulau daerah Asia Tenggara, sehingga menyebabkan adanya kesamaan terhadap kosa kata dan kebudayaannya. Manusia pada zaman prasejarah juga sudah menguasai pengetahuan mengenai lautan, perahu, musim, selain itu menjadikan lautan sebagai tempat hidupnya, sehingga penyebaran manusia di Indonesia dapat dilakukan secara merantau hingga ke pulau-pulau yang terbatas oleh laut dan menyebut negeri tempat mereka tinggal sebagai Tanah Air.

4.       Nilai musyawarah, pada zaman prasejarah telah terdapat nilai tersebut yang di cerminkan melalui kehidupan mereka, seperti aturan mengenai kepentingan bercocok tanam, kehidupan berkelompok dalam desa, klan, suku dan marga yang dipimpin oleh seorang kepala suku yang dipilih melalui musyawarah, di mana di pilih berdasarkan Primus Inter Pares atau yang pertama di antara yang sama, hal tersebut memungkinkan adanya tumbuh kembangnya adat sosial.

5.       Nilai keadilan sosial, manusia pada zaman tersebut telah mengenal bercocok tanam serta gotong royong, hal itu menandakan telah ada peralihan pola hidup dari pola foodgathering atau mengumpulkan makanan serta berburu, menjadi pola foodproducing atau mulai bercocok tanam sendiri. Hal tersbut merupakan upaya perwujudan untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran bersama.

 

2.       Era Wangsa

a.       Sanjaya

Wangsa sanjaya merupakan era pertama dalam kerajaan sriwijaya yang didirikan oleh raja pertama Sanjaya. Pendiri wangsa sanjaya memeluk agama hindu. Pada masa ini, nilai Pancasila yang telah diterapkan salah satunya adalah nilai ketuhanan, dimana masyarakat sudah menganut agama hindu, serta animisme dan dinamisme. Selain itu, pemerintahan kerajaan sudah diterapkan di masa ini dimana merupakan penerapan dari sila ke 4.

b.       Syailendra

Pada abad ke VII muinculah suatu kerajaan di Sumatra yaitu kerajaan Sriwijaya, dibawah kekuasaan wangsa Syailendra. Hal ini termuat dalam prasasti Kedukan bukit di kaki bukit Siguntang dekat palembang yang bertarikh 605 Caka atau 683 M, dalam bahasa melayu kuno dan hurup pallawa. Kerajaan itu adalah kerajaan maritim yang mengandalkan kekuatan lautnya, kunci-kunci lalu lintas laut disebelah barat dikuasainya seperti selat sunda (686), kemudian selat malaka (775). Pada zaman itu Sriwijaya merupakan suatu kerajaan besar yang cukup disegani dikawasan Asia selatan. Perdagangan dilakukan dengan mempersatukan dengan pedagang pengerajin dan pegawai raja yang disebut Tuha An vatakvarah sebagai pengawas dan pengumpul semacam koprasi sehingga rakyat mudah untuk memasarkan barang dagangannya (Keneth R. Hall, 1976:75-77). Demikian pula dalam sistem pemerintahannya terdapat pegawai pengurus pajak, harta benda kerajaan, rokhaniawan yang menjadi pengawas teknis pembangunan gedung-gedung dan patung-patung suci sehinga pada saat itu kerajaan dalam menjalankan sistem negaranya tidak dapat dilepaskan dengan nilai ketuhanan (Suwarno, 1993, 19).

Agama dan kebudayaan dikembangkannya dengan mendirikan suatu Universitas agama Budha, yang sangat terkenal dinegara lain di Asia. Banyak musyafir dari negara lain misalnya dari Cina belajar terlebih dahulu di Universitas tersebut terutama tentang agama Budha dan bahasa Sansekerta sebelum melanjutkan studinya ke India. Malahan banyak guru-guru besar tamu dari india yang mengajar di Sriwijaya misalnya Dharmakitri. Cita-cita tentang kesejahtraan bersama dalam suatu negara telah tercermin pada kerajaan Sriwijaya tersebut yaitu berbunyi ‘marvuat vanua Criwijaya siddhatra subhiksa’ (suatu cita-cita negara yang adil dan makmur) (Sulaiman, tampa tahun:53)

 

 

c.       Isyana

Kerajaan Medang Wangsa Isyana didirikan oleh Mpu Sindok, mantan Mahamenteri Hino Kerajaan Medang Mataram dari masa Rake Dyah Wawa. Ada beberapa faktor yang diduga sebagai penyebab eksodus Kerajaan Medang dari Jawa Tengah ke wilayah Jawa Timur. Dua diantaranya adalah letusan Gunung Merapi dan perebutan kekuasaan antara Wangsa Sanjaya dan Wangsa Syailendra yang melibatkan Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa ini Raja Dyah Wawa tewas, dan Mpu Sindok yang menjadi Mahamentri I Hino memimpin eksodus keluarga kerajaan ke arah timur Pulau Jawa. Berdasarkan Prasasti Turyyan yang ditemukan di daerah Turen Kabupaten Malang, pusat kerajaan awalnya dibangun di daerah Tamwlang, yang diidentifikasi oleh sejarawan sebagai daerah Tembelang di Kabupaten Jombang saat ini.

Setelah ditimbang bahwa Tamwlang mudah diserang oleh pasukan laut melalui Kali Brantas, istana Kerajaan Medang dipindah ke daerah Watugaluh masih di daerah Jombang, kemudian dipindahkan ke Istana Wwatan di daerah Maospati Kabupaten Magetan. Ketika terjadi serangan besar dari pasukan Sriwijaya yang mendarat di Kali Brantas, pasukan Kerajaan Medang bisa menahan serangan di Desa Anjukladang, meraih kemenangan besar dan Mpu Sindok mulai membangun kekuatan militer dan meluaskan wilayah di Jawa Timur. Di masa Mpu Sindok, Kerajaan Medang menguasai wilayah sampai Kabupaten Malang. Hal ini dibuktikan oleh Prasasti Turyyan yang dibuat oleh Mpu Sindok yang di dalam prasasti ditulis bergelar Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isanawikrama Dharmottunggadewa.

Kekuasaan Kerajaan Medang terhadap wilayah bekas Kerajaan Kanjuruhan ini merupakan penguasaan ulang yang pernah dilakukan oleh Kerajaan Medang di bawah pimpinam Raja Dyah Wawa pada tahun akhir abad 9.  Ekspansi Kerajaan Medang ke Kerajaan Kanjuruhan di wilayah Malang ini ditulis pada Prasasti Sangguran. Prasasti ini sudah menuliskan jabatan Mpu Sindok sebagai Mahamenteri I Hino di Kerajaan Medang Wangsa Sanjaya, yang menunjukkan bahwa Mpu Sindok adalah putra mahkota kerajaan.

 

Mpu Sindok meninggal dunia digantikan oleh menantunya Sri Lokapala suami dari putri Mpu Sindok, Sri Isyanatunggawijaya. Raja ketiga Kerajaan Medang adalah cucu Mpu Sindok, Makutawangsawardhana yang berkuasa sampai 9xx. Raja Medang Wangsa Isyana ke-empat adalah Darmawangsa putra Makutawangsawardhana.

 

d.       Rajasa

Wangsa Rajasa adalah keluarga yang berkuasa di kerajaan Singhasari dan Majapahit pada kurun ratus tahun ke-13 sampai ke-15. Para penguasa Singhasari dan Majapahit dapat merunut leluhur mereka kepada seorang tokoh misterius Ken Arok atau bergelar Sri Ranggah Rajasa, dialah yang mendirikan wangsa Rajasa pada awal ratus tahun ke-13. Wangsa ini dinamai sesuai gelar Ken Arok adalah "Rajasa". Menurut Pararaton, Ken Arok diadakan di lebih kurang Tumapel. Ia dianggap sebagai pendiri wangsa adun garis ketururunan raja-raja Singhasari maupun Majapahit.

Pada masa ini, nilai keagamaan yang diterapkan adalah agama budha (Kerajaan Singosari), dan agama hindu (Kerajaan Majapahit), Serta kepercayaan-kepercayaan nenek moyang lainnya. Selain itu, sistem politik kerajaan sebagai penerapan dari sila ke4 telah diterapkan seperti ekspansi wilayah, sistem kasta kerajaan (sudra, waisya, ksatria, brahmana), serta sistem pemerintahan yang mengatur kerajaan.

Pada masa ini, raja raja yang berkuasa adalah sebagai berikut :

Periode Singosari:

1.Sri Ranggah Rajasa (1222-1227)

2.Anusapati (1227-1248)

3.Panji Tohjaya (1248)

4.Wisnuwardhana (1248-1268)

5.Kertanegara (1268-1292)

 

Periode Majapahit:

1.Kertarajasa Jayawardhana (1294–1309)

2.Jayanegara (1309–1328)

3.Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328–1350)

4.Sri Rajasanagara (1350–1389)

5.Wikramawardhana (1389–1429)

6.Suhita (1429–1447)

7.Kertawijaya (1447–1451)

8.Rajasawardhana (1451–1453)

9.Girishawardhana (1456–1466)

10.Suraprabhawa (1466-1468 or 1478)

11.Kertabhumi (1468–1478)

12.Girindrawardhana (1478–1498)

 

 

 

e.       Mataram Islam

 

 Kerajaan Mataram Islam atau Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di Pulau Jawa yang berkuasa antara abad ke-16 hingga abad ke-18. Pendiri Kerajaan Mataram Islam adalah Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaan ketika diperintah oleh Sultan Agung (1613-1645 M)

 

Sejarah Kerajaan Mataram Islam dimulai ketika Ki Ageng Pemanahan membantu Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya, mengalahkan Arya Penangsang dari Jipang. Atas jasanya, Ki Ageng Pemanahan dianugerahi wilayah tanah di hutan Mentaok (sekarang Kotagede, Yogyakarta). Ki Ageng Pemanahan membangun tanah tersebut menjadi desa yang makmur dan setelah ia meninggal, perannya diteruskan oleh putranya, Danang Sutawijaya (Raden Ngabehi Loring Pasar). Setelah itu, Sutawijaya mulai memberontak pada Pajang yang masih dipimpin oleh Sultan Hadiwijaya. Pertempuran antara Pajang dan Mataram berhasil dimenangkan oleh Sutawijaya. Setelah Sultan Hadiwijaya sakit dan akhirnya wafat, Sutawijaya mendirikan Kesultanan Mataram.

 

 

 Kerajaan Mataram Islam atau Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di Pulau Jawa yang berkuasa antara abad ke-16 hingga abad ke-18. Pendiri Kerajaan Mataram Islam adalah Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaan ketika diperintah oleh Sultan Agung (1613-1645 M). Di bawah kekuasaannya, Mataram mampu menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura. Selain itu, kerajaan yang terletak di Kotagede, Yogyakarta, ini pernah memerangi VOC di Batavia untuk mencegah didirikannya loji-loji dagang di pantai utara. Masa kekuasaan Kerajaan Mataram Islam berakhir pada 1755 M, setelah ditandatangi Perjanjian Giyanti yang disepakati bersama VOC.

 

Masa Pergerakan nasional

 Masa kebangkitan nasional dimulai pada awal abad ke 20. Masa ini dimulai dengan berdirinya banyak organisasi-organisasi seperti Budi utomo, Sarekat Dagang Islam yang berubah nama menjadi Sarekat Islam pada tahun 1911. Ada pula Indiche partij yang dipimpin oleh 3 serangkai. Pada tahun 1927 berdirilah partai politik yang dipelopori oleh soekarno yakni Partai Nasional Indonesia (PNI).

 Sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia mengalami sebuah peristiwa yang sangat penting dalam sejarah bangsa indonesia. Peristiwa tersebut adalah sumpah pemuda pada tahun 1928. pemuda pemuda yang mempelopori aksi ini adalah Muh. Yamin, Kuncoro Purbopranoto beserta yang lainnya mengumandangkan sumpah pemuda yang berisi pengakuan akan adanya bangsa, tanah air, dan bahasa yang satu yakni Indonesia. Dari peristiwa sumpah pemmuda, maka tujuan bangsa Indonesia menjadi semakin jelas. Bahwa bangsa Indonesia menginginkan kemerdekaan atas tanah air. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka diperlukan persatuan sebagai suatu bangsa, bahasa Indonesia adalah sesuatu yang mengikat dan mempererat bangsa indonesia menjadi satu kesatuan.

 Sejarah pembuatan pancasila pada masa pra-kemerdekaan di latar belakangi oleh kekalahannya pemerintahan jepang dalam perang dan terdesak oleh keinginan untuk mempertahankan sisa – sisa kekuatannya dengan cara mendapatkan dukungan dari rakyat Indonesia. Karena hal tersebut jepang menjanjikan sebuah kemerdekaan untuk Indonesia dengan membentuk suatu badan yang disebut BPUPKI. BPUPKI dibentuk pada tanggal 29 April 1945 dengan beranggotakan 60 orang dari Indonesia dan 7 orang berasal dari Jepang yang bertugas sebagai untuk mengawasi dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Sidang pertama BPUPKI dilaksanakan pada tanggal 29 Mei 1945 di mana pada sidang ini bertujuan untuk membahas mengenai dasar negara. Pada sidang pertama tersebut para anggota yang menghadiri sidang di minta untuk mengemukakan dasar negara Indonesia, hal tersebut mendorong mereka dalam menggali kekayaan kerohanian, kepribadian dan wawasan kebangsaan yang terpendam. Moh. Yamin pada hari itu mengemukakan 5 asas di antaranya;

1. Peri Kebangsaan

2. Peri Kemanusiaan

3. Peri Ketuhanan

4. Peri kerakyatan

5. Kesejahteraan Rakyat (keadilan sosial)

 

Pada tanggal 31 Mei 1945, Soepomo mengemukakan usulan 5 asas yang berisi;

1. Persatuan

2. Kekeluargaan

3. Keseimbangan lahir batin

4. Musyawarah

5. Keadilan rakyat

 

Pada tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno pun mengusulkan 5 asas dasar negara antara lain;

1. Kebangsaan Indonesia

2. Internasionalisme atau perikemanusiaan

3. Mufakat atau demokrasi

4. Kesejahteraan sosial

5. Ketuhanan Yang Maha Esa

 

Ke lima asas yang di kemukakan oleh Ir. Soekarno terebut di sebut sebagai Pancasila di mana menurut beliau ke lima asas tersebut dapat di peras menjadi Trisila atau tiga sila antar lain;

1. Sosionalisme

2. Sosiodemokrasi

3. Ketuhanan dan kebudayaan

 

Setelah dikemukakan asas – asas tersebut, terjadi perdebatan yang sengit hal tersebut terjadi karena adanya perbedaan pendapat antara kelompok netral agama, kelompok agama Islam dan kelompok agama Kristen. Kelompok agama Islam mengusulkan kepada BPUPKI untuk menjadikan Islam sebagai dasar negaranya dan lainnya mengusulkan kebangsaan sebagai dasar negara. Karena adanya perbedaan ini, maka di bentuklah Panitia Sembilan yang kemudian mengakomodasikan antara kelompok Nasionalis dengan kelompok Islam. Panitia Sembilan kemudian bertugas untuk merancang teks proklamasi yang akan di jadikan sebagai preambule. Rancangan preambule kemudian di kenal sebagai Piagam Jakarta dan dibuat pada tanggal 22 Juni 1945. Piagam Jakarta kemudian di jadikan sebagai pembukaan UUD 1945 dengan menghapuskan tujuh kata di dalamnya yaitu “… dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk – pemeluknya.” dan di gantikan dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kesepakatan penghapusan tujuh kata tersebut dilakukan dengan cepat demi kepentingan Nasional, serta rasa tidak ingin republik yang dibentuk menjadi negara yang berbasis agama tertentu.

 

Pada tanggal 6 Agustus 1945 terjadi pengeboman di kota Hiroshima yang di lakukan oleh tentara Amerika Serikat, hal tersebut menyebabkan terdesaknya tentara jepang. Sehari setelah terjadinya pengeboman tersebut kemudian BPUPKI dibubarkan dikarenakan dianggap tidak dapat menyelesaikan tugas dengan baik, sebagai ganti dari BPUPKI kemudian di bentuklah PPKI. Serangan bom atom kedua yang di lakukan oleh tentara Amerika Serikat menyebabkan tentara jepang menyerah kepada Amerika dan sekutunya, hal tersebut di manfaatkan oleh bangsa Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya. Maka pada tangga 16 Agustus 1945 terjadi perundingan mengenai penyusunan teks proklamasi setelah sebelumnya Seokarno – Hatta di bawa menuju Rengasdenklok yang merupakan tempat bekas markas PETA sehingga di anggap cukup aman. Penyusunan teks proklamasi dilakukan secara cepat mulai dari pukul 02.00 – 04.00, di mana penyusunan di lakukan oleh Ir. Soekarno, Drs. Moh Hatta dan Mr. Ahmad Soebardjo di dalam ruang makan, di saksikan oleh Soekarni, B.M Diah, Sudiro dan Syuti Melik dan di ketik oleh Sayuti melik. Setelah membacakan teks proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945, kemudian ke esokan harinya PPKI mengadakan sidang pada tanggal 18 Agustus 1945 untuk membentuk UUD 1945, setelah sebelumnya menghapuskan 7 kata dari piagam Jakarta  dan menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

 ENGLISH VERSION

Evidence of the values ​​of Pancasila which were cultivated by the ancestors of the Indonesian nation.


 Pancasila is the foundation of the Indonesian state, which has been formulated by the freedom fighters. Not only the basis of the state, but Pancasila is also the result of the values ​​of the ancestors of the Indonesian nation (Nusantara) which have existed since the first even since pre-historic times. The following are the values ​​and evidence of these values


1. Pre-historic era


600,000 years ago, Indonesia was only inhabited by humans, entering a quarter of an era, and a quarter of an era is an important era, because this is the time when human civilization was discovered. There are three eras in Indonesia, namely the Paleolithic Age (Paleolithic), the Big Stone Age (Megalithic Age), and the Young Stone Age (Neolithic Age). The existence of these three eras is based on the discovery of upright monkey fossils, Ancient Java, Ancient Java, Soro, Wajak, and Moyokte. At this time humans live together and fulfill their needs, which shows that the values ​​of Pancasila have actually existed since prehistoric times. The values ​​of Pancasila include:


1. Divinity Value This value can be seen in the skeletons of the ancient human corpses of Wajakensis and Pithecanthropus Homo erectus during the Paleolithic period which indicate the existence of tombs at that time. Another thing that shows that humans at that time believed in something religious was the existence of tools made for religious activities. Even in prehistoric times, there was animism and vitalism, which were manifestations of religious behavior based on religious beliefs. Tools used for religious activities include:


Menhirs, which have a shape like a pole or a monument that is used as a place to worship ancestral spirits, generally menhirs are placed in a high place which is believed to be a place for ancestral spirits.

Dolmen is a stone table that is used as a place to put offerings. It is known that sometimes the bottom of the dolmen is used as a place to store corpses, therefore the legs of the stone table are reproduced so that they cover the corpse. The existence of this shows that humans in prehistoric times have believed in a harmonious and harmonious relationship between creatures that have died and creatures that are still alive.

Sarcophagus, is a chest made of stone that is used as a place to store corpses. Sarcophagus has a shape like a dimple or a trough with a lid on the top.

Punden Berundak is a building shaped like a terraced terrace and leads to a conical point. Generally, this building is located in a high place, this is
because this building is used as a place of worship where the human belief of that era is that the higher the place, the closer to the ancestors.

The statue, is a statue of a large stone made in the form of humans and animals which are symbols of ancestors, statues have a function as worship.

2. Human values, this value is reflected in human behavior at that time where they gave each other high appreciation for other humans even though the human had died. Humans in prehistoric times were also familiar with bartering and generally inland human groups bartered their resources with groups who settled in coastal areas, in other words, they did not only live in a limited area or group.


3. The value of unity, humans in prehistoric times have used Austronesian languages, where this language is an old language family that was used in ancient times. This language family is spread across the islands of Southeast Asia, thus causing similarities in vocabulary and culture. Humans in prehistoric times have also mastered knowledge about the oceans, boats, seasons, besides making the ocean their place of life, so that the spread of humans in Indonesia can be carried out by migrating to islands that are limited by the sea and calling the country where they live as Motherland. .


4. The value of deliberation, in prehistoric times there were values ​​that were reflected through their lives, such as rules regarding the interests of farming, group life in villages, clans, tribes, and clans led by a tribal chief elected through deliberation, wherein choose based on Primus Inter Pares or the first of the same, it allows for the growth of social customs.


5. The value of social justice, humans at that time were familiar with farming and mutual cooperation, it indicated that there had been a change in lifestyle from the food gathering pattern or gathering food and hunting, to a food-producing pattern or starting to grow their own crops. This is an effort to realize the 13th year. This dynasty is named after Ken Arok's title is "Rajasa". According to Pararaton, Ken Arok was held around Tumapel. He is considered the founder of both the dynasty and the lineage of the kings of Singhasari and Majapahit.


At this time, the religious values ​​applied were Buddhism (Singosari Kingdom), and Hinduism (Majapahit Kingdom), as well as other ancestral beliefs. In addition, the royal political system as an application of the 4th precept has been implemented such as territorial expansion, the royal caste system (sudra, vaisya, knights, brahmanas), and the government system that governs the kingdom.


At this time, the ruling kings were as follows:


Singosari Period:


1. Sri Ranggah Rajasa (1222-1227)


2.Anusapati (1227-1248)


3. Banner of Tohjaya (1248)


4. Wisnuwardhana (1248-1268)


5. Kertanegara (1268-1292)


 Majapahit Period:


1. Kertarajasa Jayawardhana (1294–1309)


2.Jayanegara (1309–1328)


3. Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328–1350)


4. Sri Rajasanagara (1350–1389)


5.Wikramawardhana (1389–1429)


6.Suhita (1429–1447)


7. Kertawijaya (1447–1451)


8.Rajasawardhana (1451–1453)


9.Girishawardhana (1456–1466)


10.Suraprabhawa (1466-1468 or 1478)


11. Kertabhumi (1468–1478)


12.Girindrawardhana (1478–1498)


e. Islamic Mataram Kingdom

 The Islamic Mataram Kingdom or Mataram Sultanate was an Islamic kingdom on the island of Java that ruled between the 16th century and the 18th century. The founder of the Islamic Mataram Kingdom was Danang Sutawijaya or Panembahan Senopati. This kingdom reached its peak of glory when ruled by Sultan Agung (1613-1645 AD)

The history of the Islamic Mataram Kingdom began when Ki Ageng Pemanahan helped the King of Pajang, Sultan Hadiwijaya, defeat Arya Penangsang of Jipang. For his services, Ki Ageng Pemanahan was awarded a land area in the Mentaok forest (now Kotagede, Yogyakarta). Ki Ageng Pemanahan built the land into a prosperous village and after he died, his role was continued by his son, Danang Sutawijaya (Raden Ngabehi Loring Pasar). After that, Sutawijaya began to rebel against Pajang which was still led by Sultan Hadiwijaya. The battle between Pajang and Mataram was won by Sutawijaya. After Sultan Hadiwijaya became ill and finally died, Sutawijaya founded the Sultanate of Mataram.

 

 The Islamic Mataram Kingdom or Mataram Sultanate was an Islamic kingdom on the island of Java that ruled between the 16th century and the 18th century. The founder of the Islamic Mataram Kingdom was Danang Sutawijaya or Panembahan Senopati. This kingdom reached its peak of glory when ruled by Sultan Agung (1613-1645 AD). Under his rule, Mataram was able to unite the land of Java and its surroundings, including Madura. In addition, the kingdom, located in Kotagede, Yogyakarta, once fought the VOC in Batavia to prevent the establishment of trading lodges on the north coast. The reign of the Islamic Mataram Kingdom ended in 1755 AD after the Giyanti Agreement was signed with the VOC.


National Movement Period

 The period of national revival began in the early 20th century. This period began with the establishment of many organizations such as Budi Utomo, the Sarekat Dagang Islam which changed its name to Sarekat Islam in 1911. There was also an Indiche party led by a triumvirate. In 1927 a political party was founded, spearheaded by Soekarno, namely the Indonesian National Party (PNI).

 The history of the struggle for independence of the Indonesian nation experienced a very important event in the history of the Indonesian nation. The incident was a youth oath in 1928. The young man who spearheaded this action was Muh. Yamin, Kuncoro Purbopranoto, and others took the youth oath which contained an acknowledgment of the existence of a nation, homeland, and one language, namely Indonesia. From the incident of the youth oath, the goals of the Indonesian people became clearer. That the Indonesian people want independence for their homeland. To achieve this goal, it is necessary to unite as a nation, the Indonesian language is something that binds and strengthens the Indonesian nation into one unit.

 The history of the creation of Pancasila in the pre-independence period was motivated by the defeat of the Japanese government in the war and pressured by the desire to maintain the remnants of its strength by getting the support of the Indonesian people. Because of this Japan promised an independence for Indonesia by forming a body called BPUPKI. BPUPKI was formed on April 29, 1945, with 60 members from Indonesia and 7 people from Japan who served to supervise in preparing for Indonesian independence. The first BPUPKI session was held on May 29, 1945, where the purpose of this session was to discuss the basics of the state. At the first session, the members who attended the session were asked to state the basis of the Indonesian state, this encouraged them to them in exploring the hidden wealth of spirituality, personality, and national insight. Moh. Yamin on that day put forward 5 principles including;

1. Nationalism (Peri Kebangsaan)

2. Humanity (Peri Kemanusiaan)

3. Devinit (Peri Ketuhanan)

4. Populist (Peri Kerakyatan)

5. People's Welfare (social justice)


On May 31, 1945, Soepomo proposed 5 principles which contained;

1. Union

2. Family

3. Outward and inner balance

4. Deliberation

5. People's Justice

On June 1, 1945, Ir. Soekarno also proposed 5 basic principles of the state, among others;

1. Indonesian Nationality

2. Internationalism or humanity

3. Consensus or democracy

4. Social welfare

5. God Almighty


The five principles put forward by Ir. Soekarno referred to it as Pancasila where according to him the five principles could be squeezed into the Trisila or three other precepts;

1. Socialism

2. Socio-democracy

3. Divinity and culture

After the principles were stated, there was a fierce debate, this happened because of differences of opinion between religious neutral groups, Islamic religious groups, and Christian religious groups. Islamic religious groups proposed to BPUPKI to make Islam the basis of their country and others proposed nationality as the basis of the state. Because of this difference, a Committee of Nine was formed which then accommodated the Nationalist and Islamic groups. The Committee of Nine was then tasked with designing the text of the proclamation which would be used as a preamble. The preamble draft was then known as the Jakarta Charter and was made on June 22, 1945. The Jakarta Charter was later made the preamble to the 1945 Constitution by eliminating seven words in it, namely "... with the obligation to carry out Islamic law for its adherents." and replaced with "God Almighty". The agreement to abolish the seven words was carried out quickly for the sake of the national interest, as well as the feeling of not wanting the republic that was formed to become a state based on a certain religion.

On August 6, 1945, there was a bombing in the city of Hiroshima which was carried out by the United States army, it caused the Japanese troops to be pushed. The day after the bombing occurred, BPUPKI was disbanded because it was deemed unable to complete the task properly, instead of BPUPKI, PPKI was formed. The second atomic bomb attack carried out by the United States army caused the Japanese army to surrender to America and its allies, this was used by the Indonesian people to proclaim their independence. So on August 16, 1945, negotiations took place regarding the preparation of the text of the proclamation after previously Soekarno - Hatta were brought to Rengasdenklok which was the former headquarters of PETA so it was considered quite safe. The preparation of the text of the proclamation was carried out quickly starting from 02.00 – 04.00, where the preparation was carried out by Ir. Soekarno, Drs. Moh Hatta and Mr. Ahmad Soebardjo in the dining room, witnessed by Soekarni, B.M Diah, Sudiro and Syuti Melik and typed by Sayuti Melik. After reading the text of the proclamation on August 17, 1945, then the next day PPKI held a session on August 18, 1945, to form the 1945 Constitution, having previously removed 7 words from the Jakarta charter and replaced them with "Belief in One God".

Comments

Popular posts from this blog

Pendidikan Pancasila sebagai Pedoman Pelajar Indonesia di Tengah Arus Globalisasi

Perjalanan Pancasila dalam Sejarah Perjuangan Indonesia